Angel in The Bus

Di suatu siang hari bolong, jam satu siang, matahari bersinar terik
membakar gosong kulit setiap pengelana yang nekad berada di jalanan.
Panas yang membakar datangnya tidak hanya dari atas, namun
pantulannya di jalan yang beraspal dan tanah kering tandus juga
menambah parah teriknya. Keadaan seperti ini seharusnya cukup
menyadarkan setiap orang akan dosa-dosanya dan tidak menuju ke neraka. Angkutan umum tidak terlalu ramai, barangkali sebagian besar sopir beristirahat atau menunggu di poll karena jam begitu tidaklah banyak penumpang lalu lalang.

Saya naik angkutan umum yang biasa disebut
mikrolet itu dan menjadi penumpang pertama dan satu-satunya. Seperti
biasa saya mengambil tempat di sudut agar tidak di geser-geser
penumpang lain mengingat perjalanan saya cukup panjang. Dalam posisi
seperti ini biasanya saya tidak ingin diganggu karena adalah waktu
dimana saya membiarkan pikiran ini mengembara, entah menghayal,
bermimpi atau berimajinasi.

Selang beberapa waktu naiklah seorang yang sangat tua. Barangkali
usianya belumlah mencapai tujuh puluh tahun namun keadaannya
sangatlah memiluhkan. Badannya kurus dan renta, wajahnya dipenuhi
benjolan-benjolan sebesar kacang polong, matanya merah dan bersinar
lemah dan badanya mengeluarkan bau yang tidak sedap entah disebabkan
oleh penyakitnya atau oleh pakaiannya yang lusuh. Ia mengambil tempat
duduk di depan saya yang walau berusaha tidak perduli tapi sesekali
mengamatinya.

Perjalanan belumlah panjang ketika sopir angkot itu bertanya kepada
orang tua tadi "pak mau turun di mana?". Dan dengan suara berat
dipaksakan ia menjawab "rumah sakit!".

"Aduh pak, kenapa tidak bilang dari tadi, itu Rumah sakitnya sudah
lewat. Bapak turun di sini saja dan ambil angkot lain" kata sopir itu
tanpa belas kasihan sedikit pun. Orang tua itu terlalu lemah sehingga
membutuhkan waktu yang tidak cepat untuk keluar dari angkot tersebut.
Saya satu-satunya penumpang lain disitu tapi badan saya kaku menempal
di jok mobil. Hati saya berteriak keras "ayo, tolong orang tua itu".
Namun badan saya tetap tidak bergerak. Sekali lagi suara hati saya
berteriak bahkan lebih keras lagi "pegang tangannya, goblok!" . Tidak
juga saya lakukan

Dan ketika kedua kakinya menginjak tanah sang sopir langsung menacap
gas dan pergi meninggalkan orang tua itu yang sedang berjuang menjaga
keseimbangan dan mengibas debu yang dihasilkan roda –roda angkot
tersebut. Saya memandangnya dari kaca mobil, dengan penuh belas
kasihan dan rasa bersalah. Entah apa yang menahan tubuh ini dan
membuatnya tidak bekerja sama dengan akal sehat dan suara hati. Saya
seharusnya dapat menolong orang tersebut, menegur sopir yang tidak
manusiawi, membantunya turun, mengantarnya ke RS, menghubungi
keluarganya, atau apa sajalah. Namun semua tidak saya lakukan.
Kenyamanan telah mengalahkan keinginan untuk berbuat baik. Perasaan
tidak ingin ditepotkan telah mendiamkan teriakan suara hati nurani.
Dan sekarang saya punya masalah, karena wajah orang tua itu terus
membayang mengikuti kemana saya pergi : ke sekolah, waktu makan atau
mejelang tidur.

"Apa yang terjadi jika seandainya orang itu adalah malaikat yang
dikirim Tuhan untuk menguji saya?" tanya saya dalam hati. "Habislah
reputasi saya sebagai anak Tuhan jika orang itu memang adalah
malaikatnya" terus menerus saya berkata pada diri sendiri sekan-akan
ingin menghukumnya dengan perasaan bersalah.

Tiga hari kemudian, ayah saya berkata bahwa seorang tak dikenal telah
meninggal di rumah sakit tempat ia bekerja yang adalah rumah sakit
tujuan orang tua tersebut ketika saya bertemu dengannya. Dan ia tidak
memiliki keluarga atau siapapun. Saya tidak punya kesempatan untuk
melihat tampang mayat tersebut, namun dalam bayangan saya orang tua
itulah yang terbaring di sana. Jika benar, saya telah kehilangan
kesempatan untuk berbuat baik yang terakhir kali buatnya.

Pengalaman ini mengubah saya untuk tidak menunda untuk mengulurkan
tangan bagi yang membutuhkan. Pertama mereka mungkin adalah malaikat
yang menjelma, kedua itu mungkin kesempatan terakhir bagi kedua
pihak. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok.

Banyak orang Kristen yang merasa terlalu nyaman berada di dalam
gedung gereja yang ber AC dan berkarpet tebal. Para pendeta juga
lebih senang melayani di tempat yang menjanjikan uang daripada
menjanjikan jiwa. Sementara itu di sekitar kita masih banyak malaikat-
malaikat yang berkeliaran menyerupai pengemis, gelandangan, pengamen
dan anak-anak kecil di lampu merah.

Terlalu banyak orang yang membutuhkan berada di sekitar kita yang
tentu tidak masuk akal jika kita harus menolong semuanya. Namun,
paling tidak ulurkan tangan kepada orang yang Tuhan kirim kepada Anda.

God Bless You. Amin
Read More...... Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Save From Death

Posman adalah seorang aktor yang sudah membintangi banyak film di Indonesia. Namun ada satu kejadian dalam hidupnya yang sangat membekas dalam ingatannya dan keluarganya. Pada suatu hari Posman dan keluarganya berencana berlibur ke daerah Subang, Jawa Barat. Tetapi entah mengapa pada saat ingin pergi, Posman tidak berniat sama sekali untuk pergi. Ia merasa tidak enak perasaannya, kalau bisa ia ingin menundanya. Tetapi karena ia melihat keluarganya ingin sekali pergi jadi ia terpaksa ikut.

Sebelum berangkat untuk berlibur, Posman mengecek mobilnya semua. Mulai dari mesin, rem, dll. Semuanya beres dan tidak bermasalah. Akhirnya merekapun berangkat. Di perjalanan Posman masih merasa jengkel karena dari awal ia memang tidak berniat untuk pergi. Ia menjadi uring-uringan dijalan. Hal yang membuat ia menjadi lebih jengkel karena mereka salah keluar tol. Jadi mereka salah ambil jalan. Posman semakin jengkel karena ia disalahkan. Untuk melampiaskan kekesalanya, ia membelok-belokkan mobilnya. Walaupun semua keluarganya dibelakang sudah marah-marah namun ia tidak peduli, ia tetap menyetir dengan zig zag.

Pada saat sudah keluar dari jalan tol, akhirnya Posman mencari orang untuk menunjukkan jalan yang benar. Lalu ia bertemu dengan Asep, si penunjuk jalan. Pak Asep membawa motor didepan mobil mereka. Tiba saat dipersimpangan, tiba-tiba Pak Asep rem mendadak. Hal ini membuat Posman bingung dan langsung menginjak rem juga. Tetapi entah mengapa remnya tiba-tiba tidak berfungsi dengan baik. Karena panik Posman langsung membanting stirnya kesebelah kanan. Tanpa ia sadari mobilnya menuju kearah jurang.

Seketika canda gurau keluarganya hilang dan berganti dengan kepanikan dan teriakan minta tolong. Mereka terguling-guling dijurang sejauh 100 Meter lebih. Saat itu kematian adalah pilihan Posman dan keluarganya. Mereka semakin terperosok ke jurang. Saat itu Posman langsung berteriak dan meminta pertolongan pada Tuhan Yesus.

Akhirnya mobil berhenti berguling. Lalu Posman sadar bahwa ia masih hidup. Ia langsung mengucapkan puji syukur pada Tuhan. Walapun saat itu Posman merasa susah siap kalau ia mati saat itu, namun ia bersyukur masih dapat melihat keluarganya lagi. Semua anggota keluarga selamat, mereka hanya luka-luka kecil. Akhirnya mereka keluar dari mobil dan berusaha naik dari jurang tersebut dibantu oleh warga.

Posman yakin, bila bukan Tuhan maka tidak akan mungkin mereka selamat dari kecelakaan maut itu. jurang yang dalam dan keadaan mobil yang sudah hancur membuktikan bahwa mukjizat Tuhan itu memang ada.

Dari kejadian tersebut, Posman mendapat hikmah bahwa Tuhan Yesus ada. Ia penolong, Ia penyelamat, Dialah diatas segalanya, Dialah Juruslamat.

Kisah ini ditayangkan 7 Mei 2009 dalam acara Solusi Life di O'channel)
Nara Sumber :
Posman Tobing
Read More...... Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Miracle of Jesus Christ


“For the last four years, I have been having a lot of pain in my back, arms, legs, and neck. I could not use the stairs because I was in so much pain. The doctor told me I had arthritis and prescribed medication and could not even drive because of side effects. I could not sleep well because of the pain throughout my body. Read More...... Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Father Diary


Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.
Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang
pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya. Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit.
Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya akibat hal - hal kecil dalam rumah tangga.

Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya.
Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku? buku tersebut telah disimpan selama puluhantahun.
Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas. Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca Dengan seksama
halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupaka catatan hal ? hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya."
"Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia."
Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak? anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."
Ayah menggelengkan kepalanyadan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga bisa."

Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidakmungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan?
Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran. Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal,
juga suka mencari gara - gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu itu saya bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan
saya tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali dalam hati saya penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya
sobek akibat tembus oleh pena. Tapi saya masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, saya renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya
juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"
Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang kala dimalam hari,menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."
Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba - tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan :

"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari orang lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."
Read More...... Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

The Collision of God and Sin


. . . who Himself bore our sins in His own body on the tree . . . —1 Peter 2:24

The Cross of Christ is the revealed truth of God’s judgment on sin. Never associate the idea of martyrdom with the Cross of Christ. It was the supreme triumph, and it shook the very foundations of hell. There is nothing in time or eternity more absolutely certain and irrefutable than what Jesus Christ accomplished on the Cross— He made it possible for the entire human race to be brought back into a right-standing relationship with God. He made redemption the foundation of human life; that is, He made a way for every person to have fellowship with God.

The Cross was not something that happened to Jesus— He came to die; the Cross was His purpose in coming. He is "the Lamb slain from the foundation of the world" ( Revelation 13:8 ). The incarnation of Christ would have no meaning without the Cross. Beware of separating "God was manifested in the flesh. . ." from ". . . He made Him. . . to be sin for us. . ." ( 1 Timothy 3:16 ; 2 Corinthians 5:21 ). The purpose of the incarnation was redemption. God came in the flesh to take sin away, not to accomplish something for Himself. The Cross is the central event in time and eternity, and the answer to all the problems of both.

The Cross is not the cross of a man, but the Cross of God, and it can never be fully comprehended through human experience. The Cross is God exhibiting His nature. It is the gate through which any and every individual can enter into oneness with God. But it is not a gate we pass right through; it is one where we abide in the life that is found there.

The heart of salvation is the Cross of Christ. The reason salvation is so easy to obtain is that it cost God so much. The Cross was the place where God and sinful man merged with a tremendous collision and where the way to life was opened. But all the cost and pain of the collision was absorbed by the heart of God. (From RBC.org) Read More...... Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS